Jumat, 19 Agustus 2011

Menafsirkan Laporan Keuangan (Bag.3): Cash Flow Statement

Setelah selesai membahas mengenai income statement dan balance sheet, laporan keuangan ketiga yang tidak kalah penting adalah cash flow statement. Pada cash flow statement, perusahaan akan melaporkan keluar masuknya kas.
Cash flow statement dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
  1. Cash flow from operations, berisikan aliran kas yang berkaitan dengan aktivitas operasional perusahaan.
  2. Cash flow from investing, berisikan aliran kas yang berkaitan dengan investasi yang dilakukan oleh perusahaan, a.l: capex, penerimaan dividen, dll.
  3. Cash flow from financing, berisikan aliran kas yang berkaitan dengan pembiayaan perusahaan untuk menjalankan operasinya.
Penjumlahan ketiga komponen tersebut disebut dengan net change in cash yang akan menambah ataupun mengurangi posisi cash sebelumnya (yang terdapat di balance sheet).
Pada dasarnya, perusahaan yang sehat akan membukukan cash flow yang positif dari tahun ke tahun. Cash flow perusahaan akan terlihat lebih sehat lagi apabila cash flow from operations jumlahnya dapat menutup cash outflow dari bagian lainnya. Di samping itu, cash flow from operations yang sehat umumnya jumlahnya hampir sama dengan net income.
Mari kita melihat cash flow statement APOL di bawah ini:

Jika kita lihat tabel di atas, terlihat bahwa total cash flow from operations sampai dengan tahun 2008 cukup baik dan cenderung meningkat, namun ada warning flag yang sangat mengkhawatirkan. Perusahaan mengeluarkan dana untuk capex (capital expenditure) yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sejatinya, capex ini digunakan untuk melakukan ekspansi usaha, seperti membeli alat produksi, tanah, bangunan. Sebagai sebuah perusahaan shipping, capex-nya digunakan untuk membeli kapal dengan harapan semakin besar volume pengirimannya. Sayangnya, capex yang dikeluarkan ini dari tahun ke tahun selalu lebih besar daripada cash flow yang dihasilkan oleh bisnisnya.
Artinya: APOL harus mencari pembiayaan capex dari sumber lain. Pada bagian total cash flow from financing, terlihat bahwa capex-nya harus ditambal dengan penerbitan surat utang (Iss (Retirmnt) of Debt). Mengingat debt-to equity ratio APOL sudah cukup tinggi, hal ini berpotensi untuk mengancam bisnisnya. Utang harus dibayar, dan dalam utang terdapat bunga yang harus dibayar. Saya sengaja menandai tulisan pada bagian cash interest dengan warna merah yang menunjukkan besarnya bunga yang harus dibayar. Terlihat bahwa akibat penambahan utang terus menerus, cash yang didapatkan dari bisnisnya semakin banyak tergerus untuk membayar bunganya. Hal ini diperparah ketika pada tahun 2009, APOL menambah kebutuhan operasionalnya seperti terlihat pada bagian change in working capital. Total cash from operations kontan menurun tajam. Kondisi ini semakin memburuk ketika perubahan kurs semakin menggerus cash flow-nya.
Pada tahun 2009, cash flow APOL mengalami bleeding sebesar 467 miliar rupiah. Apa maksudnya? APOL memiliki kewajiban yang harus dibayar sebesar 467 M dan tidak ada sumber dana yang dapat digunakan untuk membayarnya!
Setelah browsing di internet, saya mendapati sebuah berita yang muncul pada bulan April lalu mengenai APOL ini:
…JAKARTA – Lembaga Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) memberikan peringkat selective default kepada PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk (APOL). Analis Pefindo Ronald Hertanto dalam keterv bukaan informasi mengatakan, peringkat ini mencerminkan ketidakmampuan perusaaan memenuhi kewajiban finansial terhadap utang-utangnya…
…Pefindo juga memberikan peringkat CCC atas obligasi perusahaan II/A/2008 senilai Rp 276 miliar yang jatuh tempo pada 2013, obligasi Il/B/2008 senilai Rp 324 miliar yang jatuh pada 2015 serta Syariah Ijarah Medium Term Notes 11/2008 senilai Rp2008 senilai Rp 150 miliar yang jatuh tempo pada 2011… (Sumber: Bataviase)
Jika kita jeli dalam melakukan analisa terhadap laporan keuangan APOL, tentu kita sudah sejak jauh-jauh hari mulai waspada.

Menafsirkan Laporan Keuangan (Bag.2): Balance Sheet

Setelah membahas mengenai income statement, mari kita beranjak ke balance sheet. Mari kita lihat balance sheet APOL:

Cash & Short Term Investment
Cash & short term investment (selanjutnya kita sebut cash untuk memudahkan) merupakan aset yang paling likuid. Cash merupakan cara tercepat untuk membayar biaya operasional harian. Oleh karena perkembangan jumlah cash dari waktu ke waktu harus kita perhatikan. Cash yang terus menurun merupakan indikasi adanya kesulitan likuiditas. Perusahaan yang bagus biasanya memiliki cadangan cash yang cukup besar. Dengan cash ini selain untuk menutup biaya operasional, perusahaan juga bisa membayarkan dividen ataupun membiayai capex. Terkadang apabila cash berlebih, perusahaan meletakkannya pada instrumen investasi jangka pendek (short term investment) yang relatif tetap likuid. Jika kita membagi jumlah cash dengan jumlah saham beredar, kita akan mendapatkan porsi harga saham yang bersifat likuid.

Terlihat bahwa posisi cash APOL turun cukup tajam pada tahun 2009. Hal ini menjadi warning sign bagi kita untuk menyelidiki lebih lanjut agar mengetahui apa yang terjadi.
Account Receivable
Pada balance sheet APOL di atas, seluruh receivable dijadikan satu menjadi total receivables. Hal tersebut tidak menjadi masalah. Perubahan account receivable seharusnya sebanding dengan perubahan revenue. Akan menjadi masalah apabila account receivable meningkat tanpa diimbangi dengan peningkatan revenue, hal tersebut menandakan bahwa perusahaan mengalami kesulitan untuk menagih ke pelanggannya. Pada tahun 2008, receivables APOL mengalami peningkatan 100% sementara revenue-nya hanya naik 60%, bukan hal yang bagus.
Pada perusahaan retail, account receivable biasanya kecil karena konsumennya membayar kontan. Lain halnya dengan perusahaan yang konsumennya institusi seperti perusahaan ala berat. Biasanya kliennya memiliki jangka waktu pembayaran tertentu sehingga nilai account receivable lumayan besar.
Inventory
Tidak banyak yang dapat diceritakan oleh balance sheet APOL karena bisnisnya adalah jasa shipping yang sedikit memiliki inventory.
Inventory adalah barang dagangan. Jika inventory terus membengkak ada kemungkinan barang yang dijual tidak laku. Hal tersebut tidak akan menjadi masalah untuk industri tertentu seperti pertambangan namun akan menjadi masalah untuk perusahaan yang memproduksi makanan atau minuman karena memiliki masa kadaluarsa.
Property, Plant & Equipment (PPE)
PPE merupakan aset yang tidak likuid. Gedung, kendaraan, dan peralatan produksi nilainya akan terus menurun dan harus digantikan ataupun memerlukan perawatan. Khusus untuk tanah tidak akan disusutkan. PPE ini menjadi objek yang cukup penting untuk dinilai saat perusahaan akan dilikuidasi.
Liabilities & Equity
Liabilities merupakan kewajiban yang harus dilunasi oleh perusahaan. Bersama-sama dengan equity, liabilities merupakan sumber pendanaan perusahaan. Dana yang diperoleh akan diinvestasikan oleh perusahaan dan tertuang dalam bentuk aset yang dimiliki.
Hal terpenting yang perlu diketahui adalah komposisi liabilities dan equity. Perbandingan kita sebut dengan debt to equity ratio (DER). Debt/utang tidaklah gratis dan kita harus membayar kembali pokok dan bunganya. Semakin besar DER maka semakin besar bunga yang harus kita bayarkan. Hal ini akan menjadi masalah saat revenue anjlok. DER APOL cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 DER nya mencapai 8x dan ini sangat berbahaya. Umumnya DER perusahaan memiliki DER kurang dari 2x. Saya menyukai perusahaan dengan DER kurang dari satu.
Utang sendiri tidak menjadi masalah asalkan perusahaan memiliki revenue yang cukup besar untuk dapat melunasinya. Apabila tidak, utang akan menghancurkan jalannya suatu bisnis.
Equity merupakan selisih dari assets dan liabilities dan merupakan hak pemegang saham. Sebagai investor, kita tentu menginginkan nilai equity yang terus meningkat. Peningkatan equity yang sehat bersumber dari tumbuhnya laba bersih yang menandakan bahwa bisnisnya menguntungkan.
Demikian adalah penjelasan singkat mengenai balance sheet. Kita akan membahas bagian terakhir laporan keuangan yaitu cash flow statement pada artikel berikutnya.

Menafsirkan Laporan Keuangan (Bag.1): Income Statement

Untuk bahan analisa awal, kita dapat menggunakan rangkuman laporan keuangan yang disediakan oleh website financial times (www.ft.com). Data di sana cukup valid dan mempunyai periode penyajian yang cukup panjang (5 tahun). Untuk dapat mengobservasi dengan lebih terperinci tentu saja kita harus membaca laporan keuangan aslinya. Beberapa data yang tidak kita perlukan dalam analisa sengaja saya hapus agar lebih mudah membacanya.
Mari kita lihat income statement APOL dari tahun 2005-2009. Kita akan mencoba mencari apakah ada sesuatu yang signifikan yang bisa kita dapatkan.


Cost of Revenue (Cost of Goods Sold/COGS)
Cost of revenue merupakan biaya-biaya yang terkait langsung dengan produksi suatu barang/jasa seperti bahan baku, listrik, dll. Cost of revenue merupakan komponen penting dalam income statement karena kita dapat mengetahui apakah suatu perusahaan memiliki competitive advantage terhadap perusahaan lain dalam industrinya.
Apa maksudnya?
Revenue adalah harga dari produk kita sedangkan cost of revenue adalah biaya untuk produksinya. Suatu perusahaan yang memiliki competitive advantage akan mampu memasang harga yang lebih mahal dibandingkan dengan perusahaan pesaingnya. Sebagai contoh adalah Apple, Inc . Apakah Apple kesulitan menjual I-Phone karena harganya lebih mahal daripada handphone pada umumnya? Apple memiliki konsumen yang sangat loyal dan tidak terlalu sensitif terhadap harga. Mahalnya produk Apple justru memberikan ‘gengsi’ tersendiri bagi penggunanya. Demikian pula halnya ketika harga bahan baku meningkat dan memaksa suatu perusahaan untuk menaikkan harga produknya untuk mengimbangi biaya produksi. Perusahaan yang tidak memiliki competitive advantage akan kesulitan untuk menaikkan harga. Sebaliknya, konsumen perusahaan yang memiliki competitive advantage akan dengan mudah memaklumi kenaikan harga ini.
Profit Margin
Profit margin adalah persentase profit terhadap revenue. Dalam laporan keuangan terdapat beberapa macam profit margin, a.l:
  1. Gross margin (revenue – cost of revenue / revenue)
  2. Profit margin (operating income / revenue)
  3. Net profit margin (net profit / revenue)
Cara yang mudah dan efektif saat melakukan analisa laporan laba-rugi (income statement) adalah membandingkan masing-masing item terhadap revenue/sales (pendapatan/penjualan). Penjualan APOL dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 sebenarnya cukup bagus dan cenderung meningkat.
Permasalahan muncul pada tahun 2009 ketika penjualan anjlok dari Rp 2,6 triliun menjadi hanya Rp 1,7 triliun. Cost of revenue yang  sebelumnya hanya berkisar antara 67%-70% dari revenue melonjak naik menjadi 83%. Ada beberapa hal yang harus kita garis bawahi mengenai hal ini. Tingginya cost of revenue menyebabkan gross margin (gross profit/revenue) hanya berkisar antara 30%-33%. Nilai ini cukup rendah dan perlu kita waspadai. Rata-rata perusahaan bisa memperoleh gross margin sebesar 60% dan untuk perusahaan jasa nilainya bisa lebih tinggi lagi karena tidak ada biaya bahan baku. Terlepas dari karakteristik industrinya, terlihat bahwa APOL tidak memiliki competitive advantage yang kuat sehingga tidak dapat membebankan harga yang terlalu tinggi kepada konsumennya.
Secara umum, terdapat dua cara untuk memperbesar gross margin, yaitu:
  1. Menaikkan harga
  2. Menurunkan biaya produksi
Keberhasilan suatu perusahaan melakukan kedua hal tersebut akan tampak pada gross margin yang meningkat dari waktu ke waktu. Walaupun begitu, masing-masing industri memiliki karakteristik tersendiri. Industri retail biasanya memiliki gross margin yang rendah namun perputaran barangnya cepat sehingga dapat menutupi biaya operasinya (SGA expense). Sebaliknya, industri alat berat memiliki gross margin yang sangat tinggi namun perputaran barangnya cenderung rendah. Kita harus memperhatikan hal tersebut dalam melakukan analisa.
Hal lain yang perlu kita perhatikan adalah penurunan revenue yang tidak diimbangi dengan penurunan cost of revenue pada tahun 2009 sehingga menyebabkan gross margin anjlok menjadi hanya 17%. Hal ini memberikan warning flag pada kita dan harus menelusuri laporan keuangannya lebih dalam.
APOL sendiri sampai dengan tahun 2008 memperoleh operating margin yang cukup bagus (25%-27%). Sayangnya pada tahun 2009, anjloknya revenue menyebabkan operating margin-nya anjlok menjadi hanya 1%. Faktor yang paling mempengaruhi besarnya operating margin adalah operating expenses (selling, general & administration expense). Di dalam operating expenses terdapat biaya yang terkait dengan operasional suatu perusahaan. Kita harus cermat menganalisa SGA expenses ini karena di dalamnya juga terdapat biaya yang berkaitan dengan fasilitas untuk manajemen (mobil pribadi atau mungkin sewa helikopter?) yang tentu saja tidak kita inginkan ketika operating margin menjadi tergerus karenanya.
Net income merupakan angka keramat dan biasanya menjadi acuan para analis untuk melakukan valuasi terhadap suatu perusahaan. Jika tidak ada hal yang aneh-aneh, net income ini adalah apa yang tersisa setelah operating income digunakan untuk membayar pajak. Kita harus mewaspadai apabila terdapat item yang tergolong luar biasa (extraordinary), seperti penjualan aset. Selain itu, net income juga berpotensi untuk tergerus karena adanya other income (expenses) seperti rugi kurs dan biaya bunga. Untuk kasus APOL, net profit margin-nya sampai dengan tahun 2007 cukup bagus yaitu sekitar 14%. Dampak dari anjloknya revenue dan rapuhnya struktur biaya menyebabkan APOL mengalami kerugian yang cukup besar pada tahun 2009.
Untuk melihat permasalahan APOL ini lebih lanjut kita perlu melihat laporan keuangan lainnya yaitu balance sheet dan cash flow statement yang akan dibahas pada artikel berikutnya.

Ngobrol Tentang Dividen

Ketika suatu perusahaan mendapatkan laba, cash akan terus menumpuk. Pada kondisi ini ada beberapa alternatif yang dapat ditempuh, antara lain:
  1. Melakukan ekspansi. Jika manajemen melihat ada kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih baik di masa mendatang, opsi ini cukup bagus. Perusahaan akan terus tumbuh.
  2. Stock buyback. Ada kalanya ekspansi bukan merupakan opsi yang bagus karena jika dilakukan imbal hasil dari capex yang dikeluarkan sangat rendah. Pada kondisi ini, stock buyback merupakan tindakan yang cukup bijaksana karena dapat meningkatkan EPS.
  3. Membagikan dividen. Kelebihan cash dapat diberikan kembali kepada investor dalam bentuk dividen.
Pada umumnya, ketiga opsi tersebut dapat dilakukan secara bersamaan. Apabila setelah cash yang ada dipergunakan untuk membiayai ekspansi, sisanya dapat dibagikan dalam bentuk dividen. Bagi beberapa investor, pembagian dividen ini sangat penting karena mereka mengharapkannya sebagai hasil dari investasi. Pada perusahaan yang sudah mature, umumnya persentase dividen terhadap laba bersih cukup tinggi karena tidak membutuhkan biaya yang besar untuk ekspansi. Laba yang didapatkan mungkin hanya dipergunakan untuk membiayai modal kerja dan mengganti alat-alat produksi yang sudah waktunya diganti. Lain halnya dengan perusahaan yang sedang tumbuh pesat. Laba yang mereka dapatkan akan diinvestasikan kembali untuk membiayai ekspansi. Perusahaan yang sedang dalam fase ini biasanya jarang membagikan dividen dan investornya mengharapkan imbal hasil dalam bentuk capital gain.
Bagi investor, adanya pembagian dividen yang kontinyu dan terus bertambah jumlahnya tiap tahun merupakan salah satu indikator yang menunjukkan bahwa perusahaan berada dalam kondisi yang bagus. Cash yang terus bertumpuk dan tidak dimanfaatkan untuk kepentingan investor bukan merupakan hal yang bagus. Ada kemungkinan cash tersebut akan memberikan ide bagi manajemen untuk menghambur-hamburkannya dengan sia-sia pada project yang kurang menguntungkan.
Keuntungan lain dari adanya dividen bagi investor adalah untuk menjaga harganya turun ketika terjadi crash di bursa saham. Jika Anda memiliki saham dengan dividend yield (dividend per share / stock price) sebesar 10%, maka ketika harga sahamnya turun 50%, dividend yield akan langsung melonjak menjadi 20%. Semakin besar penurunan harga sahamnya, semakin tinggi dividen yang kita terima. Sungguh beruntunglah kita apabila penurunan harga saham hanya diakibatkan oleh pasar yang sedang bad mood belaka dan bukan karena kondisi fundamentalnya merosot.
Mari kita perhatikan grafik ADMF berikut:
Ketika krisis global terjadi pada tahun 2008, harga saham ADMF turut tertekan padahal bisnisnya masih berjalan dengan lancar dan keuntungan yang didapatkan terus bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 2007, dividend yield ADMF adalah 10,55% sementara sahamnya diperdagangkan di level 2.200. Dividend yield ADMF cukup tinggi karena sebagai perusahaan financing, ADMF tidak membutuhkan biaya yang besar untuk ekspansi.  Pada tahun 2008, harga saham ADMF turun menjadi 1.450 sementara EPS-nya cukup tinggi (1.020) atau dengan kata lain PER nya hanya 1,42. Pada tahun tersebut ADMF membagikan dividen sebesar 280 sehingga mengakibatkan dividend yield-nya naik tajam menjadi 19,31%. Mungkin Anda saat itu masih bisa tersenyum pada saat itu jika memiliki sahamnya karena turunnya harga saham diimbangi dengan melonjaknya dividend yield.
Di bawah ini adalah beberapa tips apabila kita mengincar suatu perusahaan untuk mendapatkan dividen:
  1. Cari perusahaan yang dalam jangka panjang rajin membagikan dividen dan lebih bagus lagi apabila jumlahnya terus naik dari tahun ke tahun.
  2. Pastikan bahwa perusahaan tersebut labanya tumbuh dengan stabil sehingga dapat terus membagikan dividen.
  3. Jangan lupa untuk memeriksa apa saja langkah-langkah yang dilakukan perusahaan tersebut saat terjadi krisis. Pastikan bahwa perusahaan tersebut tidak melakukan blunder yang dapat mengancam kelangsungan bisnisnya.

Senin, 15 Agustus 2011

Bagaimana Cara Menentukan Harga Wajar Saham?

   Melakukan penilaian (valuasi) saham adalah proses menentukan berapa harga yang wajar untuk suatu saham. Walaupun harga saham berubah setiap waktu, namun dengan mengetahui nilai wajarnya, kita akan lebih tenang dalam menghadapi gejolak pasar. Konsep harga wajar ini telah saya bahas di tulisan sebelumnya di sini 
.
   Dalam melakukan valuasi, mau tidak mau kita harus mengerti sedikit cara membaca laporan keuangan sebab perhitungan valuasi melibatkan item-item dalam laporan keuangan perusahaan. Untung saja, seorang teman baik saya, Edison telah memaparkan dengan sangat baik bagaimana cara membaca laporan keuangan di blognya di sini.

   Warren Buffett mengatakan bahwa nilai intrinsik (nilai wajar) suatu saham didefinisikan sebagai nilai saat ini dari aliran kas masuk yang akan didapatkan sepanjang umur hidup perusahaan tersebut.  Nilai saat ini dari uang yang akan kita dapatkan di masa depan merupakan konsep time value of money yang dapat kita pelajari di sini. Buffett mengatakan bahwa cara ini adalah satu-satunya cara yang masuk akal untuk mengevaluasi keatraktifan dari suatu investasi dan bisnis. Pemikiran Warren Buffett mengenai nilai intrinsik ini banyak dipengaruhi oleh John Burr Williams, yang merupakan orang yang pertama kali mengemukakan pemikiran mengenai nilai intrinsik ini.

   Charles S. Mizrahi dalam bukunya “Getting Started in Value Investing” menjelaskan sebuah cara sederhana dalam melakukan penilaian harga wajar saham. Meskipun sederhana bukan berarti cara ini tidak efektif.  Keindahan dari cara ini justru berasal dari kesederhanaannya. Agar lebih mudah dipahami, proses valuasi ini akan saya pecah menjadi beberapa langkah.  Sebagai contoh saya akan menilai harga wajar saham PT. Unilever Indonesia. Laporan keuangannya dapat kita ambil di websitenya di sini. Saya memilih Unilever karena perusahaan ini merupakan perusahaan yang sangat solid dengan manajemen yang mumpuni. Perlu diingat, sebelum melakukan valuasi kita sebaiknya memilih perusahaan dengan pertumbuhan laba bersih 5 tahun ke belakang minimal 10%. Beruntung sekali ternyata kita dapat memperoleh data keuangan Unilever sampai dengan 10 tahun ke belakang. Selain itu, sebaiknya saham yang akan kita nilai memiliki Return on Equity (ROE) minimal 15%. Unilever dapat memenuhi kriteria-kriteria tersebut.
Sebelum melakukan valuasi, coba buat dulu profil dari perusahaan tersebut seperti di bawah ini:
profilunvr2
    Pertama-tama kita harus menentukan dahulu pertumbuhan (growth) EPS (Earning per Share) selama paling tidak 5 tahun ke belakang. Dalam menentukan berapakah proyeksi pertumbuhan EPS selama 5 tahun ke depan, ikuti langkah berikut:
  • Jika rata-rata pertumbuhan EPS perusahaan 5 tahun ke belakang lebih besar dari 15%, maka proyeksi pertumbuhan EPS 5 tahun ke depan adalah 15%. Mengapa saya menentukan proyeksi EPS 15%? Sangat sedikit perusahaan yang mampu mempertahankan pertumbuhan EPS di atas 15% per tahun secara kontinyu. Oleh karena itu sebaiknya kita proyeksikan pertumbuhan EPS selama 5 tahun ke depan adalah 15%.
  • Jika pertumbuhan EPS perusahaan 5 tahun ke belakang lebih kecil dari 15%, maka proyeksi pertumbuhan EPS 5 tahun ke depan adalah 10%.
   Terlihat bahwa pertumbuhan EPS rata-rata Unilever adalah 16.94% per tahun. Oleh karena itu kita tentukan proyeksi pertumbuhan EPS 5 tahun ke depan adalah 15% per tahun.
Setelah itu kita tentukan proyeksi rasio P/E (Price to Earning) untuk 5 tahun ke depan. Untuk memproyeksi P/E Unilever 5 tahun ke depan, kita dapat menggunakan langkah mudah berikut:
  • Jika P/E lebih dari 20, gunakan proyeksi P/E 17
  • Jika P/E kurang dari 20, gunakan proyeksi P/E 12
  Saat ini berdasarkan data kuartal III dapat diperkirakan P/E Unilever adalah 21.9 (> 20). Dengan demikian kita tentukan proyeksi P/E 5 tahun ke depan adalah sebesar 17.
Setelah menentukan proyeksi pertumbuhan EPS dan P/E, mari kita mulai proses valuasinya.

     LANGKAH 1: Menghitung EPS 5 tahun ke depan berdasarkan proyeksi pertumbuhan 15%

Menentukan besar EPS 5 tahun ke depan berdasarkan proyeksi pertumbuhan EPS (15%). Mari kita perhatikan tabel perhitungan besar EPS 5 tahun ke depan di bawah ini:

projeps


    Kita mendapatkan proyeksi EPS r tahun ke depan (akhir tahun 2013) adalah sebesar 718 rupiah.


    LANGKAH 2: Mengalikan proyeksi P/E dengan proyeksi EPS pada tahun ke-5 (tahun 2013)
Karena proyeksi P/E yang kita gunakan adalah 17, maka dengan mengalikan EPSsaham Unilever maka pada akhir tahun ke-5 (akhir tahun 2009) dengan proyeksi P/E (17), saham Unilever akan diperdagangkan pada harga 12,207 rupiah per lembar.


    LANGKAH 3: Menghitung laba yang dibayarkan sebagai dividen

Berdasarkan laporan keuangan yang lalu, didapatkan bahwa porsi keuntungan yang diberikan Unilever sebagai dividen adalah 60.22%. Angka ini disebut juga dengan dividen payout ratio. Dengan menjumlahkan EPS selama 5 tahun ke depan kita mendapatkan jumlah EPS adalah 2,768 rupiah per lembar saham (411 + 472 + 543 + 624 + 718 = 2,768). Dengan mengalikan jumlah EPS tersebut dengan dividen payout ratio sebesar 60.22%, kita memproyeksikan total dividen yang akan kita terima selama 5 tahun ke depan adalah sebesar 1,667 rupiah per lembar saham (2,768 x 60.22% = 1,667).
Sebagai catatan, nilai dividen payout ratio Unilever ini sangat tinggi. Hal tersebut wajar karena Unilever merupakan perusahaan yang sudah mature dan tidak terlalu agresif berekspansi.

    LANGKAH 4: Menghitung harga saham total
Dengan menambahkan proyeksi harga saham 5 tahun ke depan dengan jumlah dividen yang kita terima dalam kurun waktu tersebut, kita mendapatkan harga saham total Unilever 5 tahun ke depan adalah 13,875 per lembar (12,207 + 1,667 = 13,875 –> dengan pembulatan). Apakah perhitungan kita sudah selesai? Belum. Harga yang kita dapatkan tersebut adalah harga 5 tahun ke depan. Kita harus mengetahui berapa harga wajar yang pantas kita bayarkan saat ini untuk mendapatkan return yang bagus terhadap investasi kita.

  LANGKAH 5: Menentukan berapa harga yang pantas dibayarkan untuk mendapatkan return   yang layak

Jika kita memasukkan uang kita dalam deposito, berapakah return per tahun yang akan kita dapatkan? Saat ini kita akan memperoleh return dari deposito sekitar 8-9% per tahun. Karena kita ingin berinvestasi di saham, tentu saja kita menuntut return yang lebih tinggi dari itu karena kita telah mengambil risiko yang lebih tinggi. Kelebihan return tersebut dinamakan risk premium. Di AS, risk premium rata-rata adalah 4.91%.  Untuk Indonesia terdapat tambahan country risk premium sebesar 5.25%. Jadi total risk premium yang akan kita gunakan adalah 10.16% (Nasib, nasib. Tinggi bener country risk Indonesia yah :( ). Data tersebut dapat kita dapatkan dari sini. Dengan menambahkan total risk premium (10.61%) dengan suku bunga deposito (8%), maka return yang layak untuk berinvestasi di saham adalah sebesar 18.61% per tahun.
Kita telah mengetahui bahwa saham Unilever akan diperdagangkan di harga 13,875 untuk 5 tahun ke depan. Berapakah harga yang patut kita bayarkan untuk selembar saham Unilever saat ini untuk memperoleh return 18.61% per tahun?
Untuk menentukan harga yang pantas, maka kita harus membagi harga pada akhir tahun ke-5 tersebut  (13,875) dengan 1.1861 tiap tahunnya selama 5 tahun.



   Terlihat bahwa harga yang pantas kita bayarkan untuk selembar saham Unilever adalah 6,023. Saat ini saham Unilever diperdagangkan di harga 7,600 per lembar, agak terlalu mahal. Sepertinya kita harus menunggu harga sahamnya turun dulu baru kita mulai membelinya :)
Perhatikan bahwa jika kita menginginkan return hanya 15% per tahun, maka harga tertinggi yang pantas kita bayarkan adalah 6,898.  Mari kita perhatikan berapa harga tertinggi yang pantas untuk saham tersebut jika kita menginginkan return yang berbeda.


highestprice
  Terlihat bahwa jika kita bersedia membayar harga yang lebih tinggi untuk suatu saham, semakin kecil return yang akan kita terima.  Oleh karena itulah investor yang baik biasanya sangat sabar menunggu harga yang murah untuk mulai berinvestasi :) Investor jenis ini tidak akan gegabah membeli saham tanpa memperhitungkan harga wajarnya.
Disclaimer is on

Membaca Laporan Keuangan Bank (Bagian 2)

     
     Pada dasarnya, struktur laporan keuangan bank sama dengan laporan keuangan pada umumnya. Mari kita perhatikan balance sheet berikut.

        Seperti yang telah dibahas pada artikel sebelumnya, alur kerja sebuah bank tercermin pada balance sheet di atas. Tabungan/deposito nasabah muncul sebagai item ‘total deposits’ pada bagian liabilities. Isi dari ‘total deposits’ adalah sumber dana bagi bank yang dapat disalurkan sebagai kredit. Selain deposit dari nasabah, ada juga deposit dari bank lain. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, tabungan/deposito nasabah dianggap sebagai utang bank terhadap nasabah. Tabungan/deposito ini kemudian disalurkan sebagai kredit dan muncul sebagai ‘net loans’. Sebagai reserve, bank menyimpannya dalam item ‘cash & due from banks’. GWM yang disebutkan sebelumnya masuk ke dalam item ini. Sisa dana dimasukkan ke dalam instrumen lain yang memberikan return bagi bank dan muncul dalam item ‘other erng. Assets’.

     Jika kita perhatikan, rasio debt to equity bank sangat tinggi (total liabilities/total shareholder’s equity).  Pada balance sheet di atas, terlihat bahwa DER mencapai 10x. Hal ini wajar bagi bank karena deposit nasabah dianggap sebagai liabilities. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bank disebut sebagai highly leveraged. Karena pentingnya peranan bank dalam sistem ekonomi dan nature nya yang highly leveraged, industri perbankan merupakan salah satu industri yang memiliki regulasi paling ketat.
Selanjutnya, mari kita perhatikan income statement dari sebuah bank.

   Tampak bahwa pada tahun 2009, bank tersebut mendapatkan interest income dari kredit yang disalurkannya sebesar Rp 33 miliar. Sebenarnya income statement di atas merupakan penyederhanaan di mana di dalam item interest income juga terdapat fee-based income. Kecenderungan terakhir dari bank adalah adanya usaha untuk mendapatkan revenue tambahan dari fee-based income. Contohnya adalah biaya transaksi yang dibebankan pada nasabah. Fee-based income ini sangat bagus bagi sebuah bank karena dapat mengurangi risiko fluktuasi pendapatan dari bunga kredit.

    Bunga atas tabungan/deposito nasabah (disebut juga DPK, Dana Pihak Ketiga) muncul dalam item total interest expense. Selama yield curve normal, maka interest income bank akan lebih besar daripada interest expense. Saat krisis terjadi, ada kemungkinan yield curve akan terbalik dan mengakibatkan interest income lebih kecil daripada interest expense.

    Untuk mengantisipasi adanya kredit macet, bank mengestimasikannya dalam bentuk loan loss provision. Item-item selanjutnya mirip dengan laporan keuangan biasa. Aturan normal berlaku pada bank. Contohnya adalah bahwa bank disebut cukup bagus apabila memiliki ROE yang tinggi.
Demikian sekilas pembahasan mengenai cara membaca laporan keuangan suatu bank.